Matahari Hari Ketujuh

Di sudut ruangan Aga diam menyendiri. Dirinya sedang tak ingin bergabung dengan siapapun. Aga menangis, air matanya tak terbendung. Diambilnya handuk ukuran kecil dari tas hitamnya yang diselempangkan di badan. Disekanya wajahnya mencoba tegar. Sambil menatap matahari pagi dari jendela rumah sakit lantai 5.

Cuaca pagi itu mendung, perawat masih sibuk memandikan para pasien, dan tak sedikit dari para penunggu pasien yang selorong dengan Ibu Aga di Paviliun Anggrek, Cathaleya, menunggu di serambi belakang sambil sarapan, minum kopi ataupun membaca koran. Ibunya Aga sudah sepekan ini minta di bawa ke taman rumah sakit setiap pagi. Beliau ingin menikmati sinar matahari pagi. “Matahari pagi itu baik untuk kesehatan. Makanya bayi-bayi itu dijemur pagi-pagi. Bukan siang hari atau sore. Biarpun tidak terang bersinar, asal ada cahaya mengenai tubuh di pagi hari, itu sudah cukup.” Celoteh Ibu Aga di hari pertama dia ingin menikmati matahari pagi. “Ah, kata siapa?” Bantah Aga. “Tentulah dokter dan perawat yang membantu kelahiranmu.” Sahut Ibunya. Semua itu masih jelas terngiang di benak Aga, bahkan di hari ketujuh saat akan membawa ibunya ke taman tak akan pernah bisa dilupakan oleh Aga, “Ma, aku panggil suster ya bantuin biar Mama duduk di kursi roda. Kalau aku sendiri yang angkat mama, ntar aku berotot ma, mana ada cowok yang mau sama anak gadismu yang cantik ini.” Goda Aga sambil menyiapkan kursi roda dekat tempat tidur.
“Ma, di luar mendung. Apa tidak sebaiknya kita di sini saja.”
“Tak mengapa, kalau hujan tak tak ada salahnya keliling rumah sakit. Hitung jalan-jalan.”
“Oke deh… Semangat ya Ma!”

Aga mendorong kursi roda ibunya keluar dari kamar. Mencoba tetap tabah dan semangat walau raganya terasa remuk. Ibunya sudah hampir 2 bulan ini dirawat di rumah sakit. Kanker leher rahim yang dideritanya sudah stadium akhir. Aga tidak bisa berbuat banyak selain menunggu di rumah sakit dan menyemangati ibunya. Tentu saja berharap ibunya sembuh. “Mungkin saja ini hari terakhir Mama merasakan nikmatnya matahari pagi. Jadi biarpun mendung harus diterjang. Mama tidak tahu, apakah Mama akan merindukan sinar matahari pagi kalau semua ini berlalu. Mama selalu kagum pada matahari pagi, memberi keceriaan diawal hari, memberi kehangatan dan disukai semua orang. Karena dia tidak akan menyakiti.” Ujar Ibunya sambil menutup mata merasakan sinar matahari yang tertutupi awan mendung.

Keesokan paginya Ibunya Aga sudah di ICU, kondisinya kritis dan terus menurun. Hari kedua Sang Ibu amat lemah, detak jantung naik turun drastis, suaranya mulai terdengar tidak jelas. Kini hari ketiga oleh dokter menganjurkan agar alat dilepas dan keluarga pasrah. Melihat kondisi ibunya, sudah tak sadarkan diri, semua keluarga pasrah dan berdoa. Aga yang 2 bulan ini setiap hari bersama sang Ibu masih belum bisa menerima. Ditengah kesendiriannya Aga menatap matahari pagi. Mengenang masa-masa bersama ibunya. Matahari pagi, terima kasih sudah memberi kehangatan untuk mama. Mama akan sangat merindukanmu. Tapi bisakah kamu memberi kesembuhan untuk Mama? Dia sangat mengagumimu. Gumam Aga sambil berurai air mata.

Leave a comment