Batsy Dipanggil Raja (2)

Seragam khas ala istana Sirai melekat sempurna di badan dua orang prajurit di balik pintu rumah Batsy. Apa gerangan yang telah diperbuatnya sehingga utusan raja ada di hadapannya. Mungkinkah ia telah melakukan sesuatu yang buruk? Atau adakah ini kabar tentang kematian suaminya? Atau.. atau…. Sampai-sampi ia tak mendengar apa perkataan kedua prajurit.

“Ma.. maaf maaf..” ucap Batsy terbata-bata begitu menyadari namanya dipanggil lebih dari sekali karena tone suara itu jelas menyiratkan.

“Apa..!!?” matanya melongo mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ia tak percaya. “Boleh saya tahu ini perihal apa tuan-tuan?” pertanyaan dengan penasaran yang memuncak

“Maaf nyonya, kami hanya mengikuti perintah raja membawa Anda ke istana.”

“Kalau begitu, izinkan saya mengenakan sesuatu yang lebih pantas di hadapan raja.” sejenak Batsy mengundurkan diri, memilah milah pakaian terbaik yang dimilikinya. Tak lupa ia menyapukan riasan sederhana di wajahnya yang murung. “Bisa saja raja akan memenggal kepalaku. Setidaknya saat aku mati, wajahku tampak tidak telalu buruk” ucap Batsy dalam hatinya. Sekali lagi ia menatap seluruh ruangan, karena begitu kakinya melangkah mengikuti pengawal istana apa saja bisa terjadi pada dirinya. Mungkin ini yang terkahir aku di sini, katanya pada diri sendiri

Hampir bersamaan kedua pengawal dari istana menoleh begitu derik pintu terdengar. Tak kalah bengong mereka mendapat suguhan pemandangan di luar dugaan. Mereka terdiam dan larut, bahkan matanya tak berkdip. Detak jantung dipacu, bulu kuduknya merinding. Bukan, bukan karena hantu. Batsy yang kini di hadapan mereka amat berbeda dengan Batsy yang tadi membuka pintu.

Dalam balutan gaun panjang berwarna biru muda kain satin yang mengkilap, di lengkapi dengan bordir berwarna emas pada bagian leher, pinggang, ujung lengan. Ditambah lagi pemanis renda berjumbai manik-manik warna emas semakin menyempurnakan penampilan Batsy, seakan-akan gaun itu memang diciptakan untuknya meski di pedagang banyak gaun yang sama. Tapi di tubuh Batsy terasa sangat berbeda. Batsy sengaja memilih gaun kesukaanya itu, kalau dia harus mati, minimal ia mengenakan sesuatu yang ia sukai di penghujung hidupnya. Tak lupa ia mengenakan kerudung warna senada,membiarkan rambut panjang mengintip sesedikit semakin membuatnya tampak anggun dan elok. Jemarinya mengapitkan cadar yang terbuat dari kain linen tipis dengan warna senada gaunnya melangkah menuju kuda yang dibawa pengawal. Kedua pengawal terlihat sangat menikmati pemandangan ini, mereka menyesap dalam-dalam bau yang dikeluarkan Batsy. Ia sengaja memamaki wewangian beraroma kayu yang diberikan Uria tak lama setelah mereka menikah.

Hentakan tiga ekor kuda mulai bergerak menjauh menuju istana. Beberapa tetangga yang menyaksikannya mulai bergunjing tentang Batsy. Tapi sekali raja bertitah maka jadilah demikian. Siapa pun tak ada yang berani menyimpulkan perihal apa yang akan menghantam Batsy. Karena masih dalam ingatan yang tak akan terkikis, pernah Raja Vadid menyuruh membawa salah satu warga ke istana. Namun di pagi hari kepalanya sudah terpanjang dengan tombak tepat di depan istana. Katanya karena ia tidak menuruti apa kata Raja. Pun Batsy, siapa yang bisa memprediksi.

Setiap benda yang ia temui di istana begitu mengagumkan. Batsy memandang dengan takjub isi istana rajanya. Belum pernah ia menginjak kaki hingga jauh ke dalam. Paling juga sampai di halaman istana di kala perayaan-perayaan saja. Anehnya Batsy tidak dibawa ke ruang utama, tapi melewati beberapa ruangan besar yang dipenuhi dengan hiasan dinding, lukisan, temboknya amat mengagumkan. Ia berkali kali berdecak kagum tanpa disadarinya. Saat tangannya memegang pilar-pilar yang megah jemarinya seakan menyerap sesuatu energi yang membuatnya rasa takjubnya terus meluap-luap.

Ia tak memberi jeda sedikit pun bagi matanya memandang apa yang ada di hadapannya saat ini, karena belum tentu ada kesempatan lagi. Sampai-sampai ia menabrak pengawal yang ternyata telah berhenti dan Batsy sama sekali tak melihat. Dengan gerakan kikuk bercampur malu ia segera meminta maaf.

“Mohon tunggu sebentar nyonya.” salah satu pengawal membuka pintu besar berukir motif khas kerajaan Sirai. Pintu yang amat tinggi setidaknya ada dua kali tinggi orang dewasa. Irama denyut nadi Batsy tak beraturan, cuaca yang tak panas tapi beberapa butir keringat mengucur dari dahinya. Tangannya bergetar hebat, dan sekuat tenaga ia memaksa kakinya agar mau bekerja sama menopang berdiri di tengah lututnya yang berguncang. Pikiran kalutnya terus mengembara membayangkan kematian, hukuman atau sesuatu yang lain.

Si pengawal sudah kembali. Ia mempersilahkan Batsy masuk. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya kepada pengawal. Sebab ia tak tahu harus bagaimana, tak sempat meminta saran orang lain, tak ada buku panduan apalagi tutorial. Desahan nafas panjang terdengar dari Batsy, menenangkan diri dan pasrah. Sekali anggukan pertanda ia siap, pintu dibuka. Perlahan kakinya memasuki ruangan di balik pintu, gaun cantiknya mulai basah oleh keringat yang bukan karena kepanasan. Rasanya ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri begitu berada di dalam.

Hening… Tapi keterkejutannya belum berakhir kala suara itu tertangkap telinganya. (Bersambung)